Hiu Punya Indera Lain
Hiu tidak hanya pandai mencium, mereka memiliki indera lain seperti rasa, penglihatan, sentuhan, dan pendengaran. Indera pendengaran mereka bahkan lebih baik daripada indra penciuman.
Hal ini disebabkan gelombang suara bergerak lebih cepat dan lebih jauh melalui air daripada melalui udara. Membuat hiu dapat mendengar suara dari jarak yang sangat jauh.
Hiu juga memiliki sistem yang disebut gurat sisi. Ini adalah sekelompok kantung berisi cairan tepat di bawah kulit mereka yang membantu hiu merasakan aliran air di sekitar mereka.
Gurat sisi dapat mendeteksi perubahan tekanan kecil, seperti ketika seekor ikan mungkin bergerak di dekat mereka.
Indera lain yang dimiliki hiu adalah indera listrik. Mereka dapat mendeteksi medan elektromagnetik.
Hal ini dapat membantu mereka menavigasi lautan karena medan elektromagnetik di sekitar Bumi. Bahkan dapat membantu hiu menemukan mangsa, karena semua makhluk hidup mengeluarkan sinyal listrik yang lemah.
Lubang Hidung Hiu untuk Deteksi Bau
Jika hiu ingin mencium bau, ia akan 'menghirup' air ke salah satu nares mereka. Air akan bergerak melalui kantung hidung, atau saluran, dan keluar dari lubang hidung lainnya.
Saat air melewati kantung hidung, reseptor hiu akan menangkap bau. Sama seperti otak manusia reseptor kemudian akan mengirimkan pesan ke otak hiu.
Bagian otak hiu yang menafsirkan pesan tentang bau jauh lebih besar daripada bagian otak manusia. Faktanya, bau membantu hiu menemukan makanan yang mereka butuhkan untuk hidup.
Apakah Hiu Pencium Bau yang Handal dibanding Ikan Lain?
Menurut Wonderopolis, dahulu para ilmuwan berpikir bahwa hiu dapat mencium bau yang lebih baik daripada ikan lainnya. Mereka berpikir bahwa area ekstra dengan reseptor penciuman ini akan memberi hiu indra penciuman yang jauh lebih baik.
Walaupun hiu memang memiliki indra penciuman yang sangat baik, ternyata kemampuan mereka hampir sama dengan kebanyakan ikan lainnya.
Eksplorasi Berbagai Kemungkinan Sosok Manusia dalam Figure A
Manusia Bisa Punya Planet Sendiri
Kamis, 26 Mei 2022 - 02:56 WIB
VIVA – Pendiri dan Kepala Eksekutif Pulsar Vision, Richard Dinan, menggagas ide untuk manusia agar meninggalkan Bumi dan tinggal di planet lain seperti Mars. Ia memiliki ambisi untuk merealisasikan idenya ini dengan cepat.
Dinan bahkan rela bertaruh dengan memanfaatkan kekuatan nuklir di luar angkasa untuk memangkas waktu tempuh menuju Planet Mars dan membuka tabir rahasia di luar sistem Tata Surya.
"Galaksi Bima Sakti dipercaya terdapat miliaran planet yang beredar di bintang G-Type seperti milik kita (Bumi). Kita hidup di dunia yang mungkin saja terpikirkan bagaimana caranya memiliki planet sendiri," ungkapnya, seperti dikutip dari situs Express, Kamis, 26 Mei 2022.
Ia menyebut, jika ingin terealisasi, maka pengusaha seperti dirinya membutuhkan roket yang sangat cepat. Meskipun Dinan mengakui kalau hal ini terlihat mustahi.
"Tapi percayalah. Kita sudah setengah jalan menuju ke arah sana," kata dia, menambahkan. Supaya semuanya menjadi kenyataan, Dinan ingin mereplika proses fusi yang digunakan oleh bintang dan Matahari.
Fusi inilah yang menjanjikan hal besar bagi manusia agar bisa berkelana ke luar angkasa. Dengan fusi ia juga sangat yakin waktu tempuh misi ke Mars dapat dikurangi setengahnya, atau melaju dengan kecepatan 350 km per detik.
Pulsar Fusion juga sudah menguji mesin plasma yang akan dipakai untuk meluncurkan roket ke luar angkasa. "Lalu, berikutnya, kita bisa menghidupkan mesin roket dan terbang (ke Planet Mars) tahun 2027," papar Dinan.
Pameran Figure A digelar. Pameran ini menghadirkan eksplorasi unik bentuk manusia sebagai media tekstur, komposisi, dan warna, melampaui sekadar representasi subjek.
TOI 700 d merupakan satu dari macam-macam planet baru. Transiting Exoplanet Survey Satellite atau TESS telah menemukan planet eksoplanet yang berpotensi dihuni pertama kali. Seukuran dengan Bumi dan mengorbit bintang sekitar 100 tahun cahaya dari Bumi, menurut badan tersebut.
Penemuan ini diumumkan pada pertemuan ke-235 American Astronomical Society pada Senin, 6 Januari 2020 di Honolulu. Planet ini adalah bagian dari sistem multi-planet di sekitar TOI 700, bintang kerdil yang berada di konstelasi Dorado.
Itu hanya sekitar 40% dari massa dan ukuran matahari kita, dengan setengah dari suhu permukaan. TOI 700 d merupakan satu dari tiga yang mengorbit bintang. Jaraknya tepat untuk mendukung air mencair di permukaan zona layak huni bintang.
Temuan ini menarik bagi para astronom karena ini adalah salah satu dari beberapa planet yang berpotensi dihuni, yang ditemukan di luar tata surya kita dan berukuran sebesar Bumi. TOI 700 d adalah yang terluar dari tiga planet, menyelesaikan satu orbit di sekitar bintang setiap 37 hari Bumi.
Dari bintangnya yang lebih kecil, planet ini menerima sekitar 86% energi yang disediakan matahari untuk Bumi. Planet ini dianggap terkunci secara tidal, artinya satu sisi selalu berada di siang hari.
Mengapa planet di ruang angkasa tidak bertabrakan satu sama lain?
Bobo.id - Dalam sistem tata surya kita, ada delapan planet tersusun berurutan dan mengorbit Matahari.
Bumi, yang menjadi planet tempat kita tinggal merupakan salah satu planet dalam sistem tata surya galaksi Bima Sakti.
Selain planet yang ada di galaksi Bima Sakti, ternyata masih ada berbagai planet lainnya, lo.
Uniknya, meski planet-planet yang ada di ruang angkasa ini jumlahnya sangat banyak dan saling bergerak, tidak ada planet yang bertabrakan satu sama lain.
Apa yang menyebabkan planet-planet ini tidak saling bertabrakan satu sama lain, ya?
Cari tahu jawabannya berikut ini, yuk!
Baca Juga: Hujan Meteor Ternyata 30 Kali dalam Setahun, Ketahui Fakta Menarik Meteor Lainnya
Gaya Gravitasi Mengatur Orbit Masing-Masing Planet
Alasan pertama mengapa planet di ruang angkasa tidak saling bertabrakan adalah karena adanya gaya gravitasi.
Orbit masing-masing planet diatur oleh gaya gravitasi. Bukankah di ruang angkasa hanya memiliki gravitasi yang sangat tipis, Bo?
Baca Juga: Tahukah Kamu Mengapa Langit Berwarna Biru? Ternyata Ini Penjelasannya
Ya, meskipun tipis atau sedikit, bukan berarti benda langit di ruang angkasa tidak memiliki gaya gravitasi.
Setiap benda di yang memiliki massa pasti memiliki gaya gravitasi, teman-teman.
Matahari sebagai pusat tata surya juga memiliki gaya gravitasi yang lebih besar dari benda langit lainnya.
Gaya gravitasi dari Matahari inilah yang kemudian menarik benad-benda langit lainnya untuk bergerak mendekatinya.
Baca Juga: Mengenang Michael Collins, Salah Satu Atronaut Misi Apollo 11 yang Pertama Kali Mendaratkan Manusia di Bulan
Hal inilah yang menyebabkan planet-planet bergerak mengelilingi Matahari, karena planet-planet akan terpaksa bergerak dalam sebuah orbit untuk mengelilingi Matahari.
Namun gaya gravitasi Matahari tetap tergantung pada jarak, sehingga orbit masing-masing planet tetap berjauhan dan tidak saling mengganggu.
Orbit Planet Tidak Selalu Berbentuk Bulat
Planet-planet di ruang angkasa memang selalu bergerak mengelilingi dan mengorbit Matahari.
Uniknya, orbit setiap planet ini tidak selalu berbentuk bulat, teman-teman. Ada juga planet yang mengorbit dengan bentuk lonjong atau elips.
Orbit planet yang berbentuk elips ini disebabkan karena kecepatan bergerak planet yang tinggi.
Baca Juga: Ternyata Astronaut Juga Beraktivitas Seperti Manusia di Bumi, Apa Saja Aktivitas Astronaut di Ruang Angkasa, ya?
Semakin cepat sebuah planet bergerak, maka bentuk orbitnya akan semakin elips.
Apa lagi faktor yang menyebabkan planet di ruang angkasa tidak saling bertabrakan saat bergerak, ya?
Ketahui jawaban lengkapnya di video ini, yuk!
Artikel ini merupakan bagian dari Parapuan
Parapuan adalah ruang aktualisasi diri perempuan untuk mencapai mimpinya.
AIA Healthiest Schools Dukung Sekolah Jadi Lebih Sehat Melalui Media Pembelajaran dan Kompetisi
Nationalgeographic.co.id—Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa Pluto tidak lagi dianggap sebagai planet dalam tata surya kita?
Pada tahun 2006, International Astronomical Union (IAU) membuat keputusan yang kontroversial untuk mendefinisikan ulang kata "planet", dan akibatnya, Pluto diturunkan statusnya menjadi planet kerdil.
Keputusan ini memicu perdebatan sengit di antara para ilmuwan dan publik, dan hingga saat ini, masih banyak yang mempertanyakan alasan di baliknya.
Artikel ini akan mengupas sejarah dan kontroversi seputar klasifikasi ulang Pluto. Kita akan menjelajahi definisi "planet" yang terus berkembang dan bagaimana Pluto tidak lagi memenuhi kriteria tersebut.
Kita juga akan melihat bagaimana penemuan baru di tata surya kita menantang pemahaman kita tentang planet dan mengaburkan garis antara planet dan objek lain.
Arti Sebuah Planet yang "Menyingkirkan" Pluto
Melansir Space.com, ata "planet" berasal dari bahasa Yunani "planetes" yang berarti "bintang yang mengembara".
Lima planet klasik - Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, dan Saturnus - dapat dilihat dengan mata telanjang dan tampak bergerak melintasi langit dengan jalur yang berbeda dibandingkan bintang-bintang lain yang lebih jauh.
Setelah teleskop ditemukan, astronom menemukan dua planet baru, Uranus dan Neptunus, yang terlalu redup untuk dilihat dengan mata telanjang.
Ketika para astronom menemukan Ceres (sekarang dikategorikan sebagai planet kerdil), mereka awalnya memasukkannya sebagai "planet".
Namun, pandangan ini berubah seiring dengan pengukuran yang lebih akurat yang menunjukkan ukuran Ceres lebih kecil daripada planet lain yang diketahui saat itu.
Baca Juga: Cerita di Balik Pluto, Dewa Dunia Bawah Romawi Kini Jadi Nama Planet
Akhirnya, Ceres dikelompokkan ke dalam kelompok benda berbatu yang disebut "asteroid", yang kini jumlahnya ratusan ribu hanya di sabuk asteroid saja.
Pluto ditemukan dan diklasifikasikan sebagai planet pada tahun 1930.
Namun, orbit Pluto sangat elips, atau lonjong, sehingga selama 20 tahun dari periode orbitnya yang 248 tahun, Pluto justru lebih dekat ke Matahari dibandingkan Neptunus.
NASA/Johns Hopkins University Gambar Pluto diambil oleh New Horizons pada 14 Juli 2015, dari jarak 22.025 mil (35.445 kilometer). Pelajari mengapa Pluto tidak lagi dianggap sebagai planet dalam tata surya kita dan bagaimana definisi 'planet' terus berkembang.
NASA/Johns Hopkins University
Gambar Pluto diambil oleh New Horizons pada 14 Juli 2015, dari jarak 22.025 mil (35.445 kilometer). Pelajari mengapa Pluto tidak lagi dianggap sebagai planet dalam tata surya kita dan bagaimana definisi 'planet' terus berkembang.
Selain itu, orbit Pluto juga miring terhadap ekliptika, yaitu bidang tempat planet-planet lain di tata surya mengorbit.
Pada tahun 1992, para ilmuwan menemukan objek pertama di Sabuk Kuiper, yakni 1992 QB1, sebuah benda kecil yang mengorbit di sekitar Pluto dan melampaui orbit Neptunus.
Segera setelahnya, lebih banyak objek serupa ditemukan, membentuk sabuk objek beku yang kecil, mirip dengan sabuk asteroid antara Mars dan Jupiter.
Meskipun Pluto tetap menjadi yang terbesar di wilayah ini, pada Juli 2005, para astronom menemukan Eris, yang pada awalnya diperkirakan lebih besar dari Pluto.
Penemuan tentang orbit Pluto inilah yang kemudian memicu perubahan klasifikasi Pluto.
Misi New Horizons dan Perdebatan Planet
Namun, keputusan IAU untuk menurunkan status Pluto tidak diterima semua pihak. "Saya malu dengan dunia astronomi," kata Alan Stern, pemimpin misi New Horizons NASA yang melintasi Pluto di tahun 2015, kepada Space.com. Ia menambahkan bahwa kurang dari 5 persen astronom dari 10.000 astronom di dunia yang berpartisipasi dalam pemungutan suara.
Baca Juga: Mengejutkan! Orbit Pluto Berbeda dengan yang Lain, Sangat Kacau!
Misi New Horizons menjadi titik balik yang signifikan dalam perdebatan planet. Pesawat ruang angkasa ini berhasil terbang mendekati Pluto dan mengungkapkan dunia yang jauh lebih dinamis daripada yang dibayangkan sebelumnya.
Gunung-gunung besar, kawah yang terhantam meteor, dan tanda-tanda aliran cairan di permukaan Pluto semuanya mengarah pada dunia yang mengalami perubahan geologi besar-besaran sejak terbentuk.
Berdasarkan hal ini saja, orang-orang seperti Stern berpendapat bahwa Pluto seharusnya dianggap sebagai planet karena merupakan tempat yang dinamis, bukan benda statis yang hanya permukaannya terganggu oleh mikrometeoroid.
Pemandangan Charon, bulan Pluto, juga menunjukkan tempat yang sangat aktif, termasuk topi merah di kutubnya yang tampak berubah penampilan seiring dengan perubahan musim yang lambat di tata surya bagian luar.
Selain itu, Pluto memiliki beberapa bulan, sementara dua planet yang sudah mapan, Merkurius dan Venus, tidak memiliki bulan. (Banyak asteroid dan planet kerdil juga memiliki bulan, yang semakin memperumit definisi planet.)
Pandangan tersebut diamini oleh banyak masyarakat umum. Pada tahun 2014, tak lama sebelum misi New Horizons melintasi Pluto, para ahli di Pusat Astrofisika Harvard & Smithsonian (CfA) di Cambridge, Massachusetts, memperdebatkan definisi planet yang berbeda.
Sejarawan sains Owen Gingerich, yang memimpin komite definisi planet IAU, menyatakan bahwa "planet adalah kata yang didefinisikan secara budaya dan berubah seiring waktu."
Namun, penonton yang menyaksikan debat CfA sebagian besar memilih definisi peserta lain - definisi yang akan mengembalikan Pluto ke dalam kelompok planet.
Skema klasifikasi alternatif terus bermunculan. Sebuah proposal di tahun 2017 mendefinisikan planet sebagai "objek bulat di luar angkasa yang lebih kecil dari bintang."
Ini akan membuat Pluto menjadi planet lagi, tetapi juga akan memasukkan Bulan milik Bumi dan banyak bulan lainnya di tata surya, sehingga jumlah total planet yang diakui secara resmi menjadi 110.
Setahun kemudian, Stern, bersama dengan ilmuwan planet David Grinspoon, menulis artikel opini di The Washington Post yang berpendapat bahwa definisi IAU dibuat terburu-buru dan cacat serta para astronom harus mempertimbangkan kembali definisi tersebut.
Baca Juga: Tak Hanya Dingin dan Mati, Tapi Pluto Juga Memiliki Lanskap yang Unik
Akankah Pluto Menjadi Planet Lagi?
Permohonan tersebut sejauh ini belum dihiraukan, dan tampaknya IAU tidak akan membahas kembali kontroversi ini dalam waktu dekat. Ahli astrofisika Ethan Siegel menanggapi Stern dan Grinspoon di Forbes dengan menulis: "Fakta sederhana adalah bahwa Pluto salah diklasifikasikan ketika pertama kali ditemukan; itu tidak pernah setara dengan delapan planet lainnya."
Mike Brown turut angkat bicara. "Jadi, Pluto tetap bukan planet. Sebenarnya, tidak pernah demikian. Kita hanya salah paham selama 50 tahun. Sekarang, kita tahu lebih baik. Rasa nostalgia terhadap Pluto bukanlah argumen yang tepat untuk mengembalikan statusnya sebagai planet, dan itulah yang ada saat ini. Mari kita hadapi kenyataan," tulis Brown di Twitter, di mana ia menggunakan nama pengguna @plutokiller untuk menunjukkan perannya dalam perubahan definisi Pluto.
Meskipun Pluto tidak lagi dianggap sebagai planet, ia tetap menjadi objek yang menarik dan penuh misteri di tata surya kita.
Penemuan New Horizons pada tahun 2015 telah memberi kita wawasan baru tentang Pluto dan bulan-bulannya, dan penelitian yang sedang berlangsung terus mengungkap lebih banyak tentang dunia yang jauh ini.
Klasifikasi ulang Pluto mungkin memicu kontroversi, tetapi ini juga merupakan pengingat bahwa sains adalah proses yang dinamis dan terus berkembang.
Seiring dengan semakin banyaknya pengetahuan yang kita peroleh tentang alam semesta, definisi dan pemahaman kita tentang planet mungkin perlu diubah lagi.
Pada akhirnya, pertanyaan "mengapa Pluto tidak lagi dianggap sebagai planet dalam tata surya kita?" adalah pertanyaan yang mencerminkan sifat penemuan ilmiah dan mendorong kita untuk terus menjelajahi dan mempelajari alam semesta yang menakjubkan di sekitar kita.
Kehidupan Para Helot, Budak Bangsa Sparta pada Zaman Yunani Kuno
Jika detikers perhatikan, hiu mempunyai dua 'lubang hidung' di moncong mulutnya. Namun berbeda dengan manusia, lubang hidung ini bukan untuk bernafas.
Manusia mengambil nafas dan mengeluarkannya lewat kedua lubang hidung. Selain itu, lubang hidung juga berguna untuk mencium bau.
Jika manusia memiliki lubang hidung, maka hiu juga punya dan dikenal dengan sebutan nares. Tetapi hiu tidak mengambil nafas lewat nares, karena mereka bernafas melalui insang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akan tetapi sama seperti lubang hidung manusia, lubang hidung hiu juga berfungsi untuk mendeteksi bau.